HAKEKAT JATI DIRI
I.
MUKADIMAH
Tulisan dibawah ini hanyalah
merupakan suatu tinjauan singkat dan ringan tentang jati diri (masalah
spiritual). Diharapkan dengan tulisan ringan ini, sedikit banyak akan dapat
menambah wawasan baru bagi rekan-rekan yang berminat ingin mempelajari hahekat
jati diri.
Sejujurnya dalam tulisan ringan ini masih banyak terdapat
kekurangan-kekurangan baik dari segi penuangan dalam kalimat maupun sistimatika
penulisannya.
Materi
tulisan ini didasarkan pada Al Qur’an dan Hadits. Penunjukkan nama surat dan
ayat dimaksudkan agar sipembaca tergerak hatinya untuk membuka dan membaca Al
Qur’an, mengamati, menyimak dan menghayati kandungannya dari surat dan
ayat yang penulis jadikan sebagai acuan.
Bagaimanapun
penulis hanyalah seorang hamba yang tidak luput dari kekurangan. Oleh karena
itu arahan dan petunjuk pakar spiritual yang berlatar belakang keagamaan
(Islam) sangat penulis harapkan.
II.
DASAR
TINJAUAN
A. Dalam Al Qur’an terdapat firman Alloh
dibeberapa surat dan ayat yang menerangkan tentang rencana Alloh untuk
menciptakan manusia (Adam) sebagai kholifah di bumi.
Diantara surat-surat dimaksud adalah:
Surat Al Hijr
Ayat 28 : Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari
lumpur hitam yang diberi bentuk”.
Ayat 29 : Maka
apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya
RUH (ciptaan)-KU, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (sebagai
penghormatan).
Ayat 30 : Maka
bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama.
Surat AS SAJDAH :
Ayat 9 : Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ROH (ciptaan)-NYA dan DIA menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur.
Surat AT TIIN :
Ayat 4 : Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
Dari beberapa
surat/ayat yang penulis jadikan dasar tinjauan, kiranya dapat ditarik beberapa
kesimpulan :
1). Dengan Rahmat dan
Karunia NYA, proses penciptaan manusia sangat berbeda dengan proses penciptaan
makhluk-makhluk Alloh lainnya. Penciptaan makhluk selain manusia Alloh cukup
berfirman “jadilah maka jadilah dia” (Surat YAASIN 82)
Berbeda dengan
penciptaan manusia, proses penciptaannya langsung dari tangan NYA (ilmu NYA)
yang hanya dari bahan tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam dan
diberi bentuk dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Oleh karena penciptaan manusia
langsung dari tangan NYA (ilmu NYA) maka manusia mendapatkan anugerah Kemulyaan
melebihi makhluk-makhluk ciptaan Alloh lainnya.
2). Demikianlah
proses penciptaan manusia dengan segala kesempurnaannya, tidak saja bentuk
badan wadak atau wujudnya tetapi dalam diri manusia dilengkapi dengan
pendengaran, penglihatan dan hati (qolbu). Termasuk kelengkapan-kelengkapan
lainnya terutama AKAL. Begitulah Alloh telah menciptakan manusia dengan segala
kelengkapannya, sesuai dengan Rencana dan kehendak-NYA sebagai pemegang amanat
untuk menjadi seorang kholifah dimuka bumi (surat AL AHZAB 72).
3). Dengan anugerah
Kemulyaan itulah, Alloh berfirman kepada para malaikat dan iblis agar bersujud
kepada manusia (Adam).
Mereka semuanya
bersujud kepada Adam (sebagai penghormatan), kecuali iblis yang tidak mau
sujud. (AL HIJR 31).
Mereka (iblis) dengan
kesombongannya berkata bahwa aku lebih baik dari pada Adam, karena Engkau
menciptakan aku dari api (Cahaya/Nur) sedangkan dia (Adam) Engkau ciptakan dari
tanah (Shaad 76).
Demikianlah firman Allah yang
menerangkan tentang penciptaan manusia
pertama (Adam).
Seiring dengan perjalanan waktu, dari
tahun ke tahun, dari abad ke abad, dari satu generasi ke generasi berikutnya
dan ditandai dengan kemajuan perkembangan teknologi informasi yang sangat mengagumkan,
telah merobah pola pikir sebagian besar manusia (tidak seluruhnya) dari hal-hal
yang bersifat spiritual kearah kebendaan.
Manusia tidak lagi berbicara tentang
hati nurani, tetapi pembicaraan mendasarkan pada rasio (akal semata).
Manusia sekarang ini telah banyak
terjebak dengan bujuk rayu syaitan, sehingga bukan jalan kebenaran yang mereka
lalui, tetapi jalan kesesatan (AL HIJR 39).
Dengan demikian maka manusia yang
semula dirancang Alloh sebagai kholifah, telah kehilangan harkat dan
martabatnya. (AT TIIN 5).
Rosululloh SAW pernah bersabda :
KULLU BANI ADAMA KHOTO U NA WA
KHOIRUL KHOTTOI NATTAWA BUNAL MUSTACHFIRIN
(Semua keturunan Adam adalah
orang-orang yang berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat
kesalahan adalah orang – orang yang bertaubat dan mohon ampun).
(HR ABU HURAIROH RA)
Yang menjadi
permasalahan adalah sampai sejauh mana manusia berupaya untuk meraih kembali
kemulyaan, sebagaimana kemulyaan seperti
kemulyaan yang pernah dianugerahkan kepeda Adam. Atau setidaknya sampai sejauh
mana upaya manusia untuk menggapai kembali harkat dan martabat sebagai seorang
kholifah yang telah terenggut karena terperangkap dengan jebakan syaitan.
Sesungguhnya Alloh maha
bijaksana, kalaulah si hamba dengan keikhlasan yang tulus berniat untuk
berusaha meraih kembali harkat dan martabat sebagai kholifah dan sepanjang
Alloh menghendaki; mengapa tidak (AL QASHASH 56, AL BAQOROH 257, dan akhir ayat
222 AL BAQOROH)
B. Firman Alloh dalam surat ADZ DZAARIYAAT
ayat 21 :
WAFI ANFUSIKUM AFALA TUBSHIRUUN.
(dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka
apakah kamu tidak memperhatikan?).
Kesempurnaan ciptaan
manusia ditandai dengan adanya kelengkapan organ-organ tubuh yang dianugerahkan
Alloh kepada manusia, baik dzohiriyah (pendengaran dan penglihatan) dan
bathiniyah (hati/qolbu) (surat AS
SAJDAH 9)
Perintah Alloh
sebagaimana diterangkan dalam surat Adz Dzariyaat ayat 21, sebenarnya ditujukan
pada hati/qolbu manusia. Karena dalam hati/qolbu manusia terdapat Rahasia atau
hasanah yang tersembunyi.
Dalam Al Qur’an maupun Hadits,
penulis belum menemukan hasanah yang tersembunyi itu sebenarnya apa.
Walaupun hal ini merupakan Rahasia
Alloh, namun manusia diperintahkan untuk mencari, mempelajari, dan menemukannya
(hasanah yang tersembunyi itu).
Ada satu Hadits Qudsi,
tetapi penulis belum mengetahui keshohehannya dan siapa yang meriwayatkannya,
namun untuk sekedar membantu dalam tinjauan, untuk sementara Hadits Qudsi
dimaksud akan penulis jadikan acuan.
Bunyi Hadits Qudsi dimaksud adalah:
“MAN ‘AROFAH NAFSAHU FAQOD AROFAH
ROBBAHU”
Yang artinya: Barang siapa (orang)
yang mengenal dirinya, sesungguhnya dia mengenal Tuhannya.
Kalau hadits diatas dituangkan
kedalam bahasa awam bahwa untuk dapat mengenal Alloh, terlebih dahulu dapat
mengenal dirinya sendiri, yang oleh banyak pakar metafisik menyebut sebagai
JATI DIRI.
Andaikata yang namanya
JATI DIRI itu identik dengan HASANAH yang tersembunyi, maka selanjutnya upaya
yang harus ditempuh adalah mencari, menggali dan menemukan JATI DIRI yang
sebenarnya (yang hakiki).
Tidak ada jalan lain, kecuali harus
mencari ilmu yang dapat menguak masalah JATI DIRI yaitu ilmu mengenal diri.
Penulis mempunyai
pengalaman untuk itu. Dengan tuntunan dan bimbingan, penulis digembleng dengan
acara-acara ritual, diantaranya, pada hari-hari yang ditentukan disuruh puasa
pada siang hari dan melakukan wiridan pada malam hari selama waktu yang
ditentukan.
Dengan penuh keyakinan,
penulis melakukannya dengan kesungguhan dan keikhlasan, karena yang dipuasai
itu diambil dari ayat Al Qur’an (ayat Kursyi). Lama puasanya selama 7(tujuh)
hari, dan pada malam harinya (selama dalam puasa) mewirid/membaca ayat Kursyi
tersebut sebanyak 313 kali.
Selama dalam bimbingan
(dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun) penulis sering melakukan
acara-acara ritual seperti tersebut diatas diantaranya : puasa untuk sholawat,
Asma’ul HUSNA, Do’a Nurbuat, HIJIB WALI QUTUB, dan amalan-amalan lainnya yang
kesemuanya penulis anggap tidak bertentangan dengan syari’at. Anggapan tersebut
penulis dasarkan pada hasil dialog dengan seorang KIYAI (nama dirahasiakan) di
Bogor. Ternyata Kiyai tersebut juga mengamalkan ayat-ayat Al Qur’an, HIJIB,
do’a-do’a dan amalan lainnya yang senada dengan apa yang penulis lakukan.
Baik pembimbing, maupun
sahabat termasuk Kiyai di Bogor, menginformasikan bahwa penulis telah memiliki
beberapa pendamping goib. Tetapi penulis sendiri tidak dapat melihat pendamping
goib tersebut. Kecuali dalam mimpi, penulis memang melihat sesosok wujud yang
persis/mirip dengan penulis. (apakah itu JATI DIRI ?).
Pada suatu kesempatan
penulis sempat berdialog dengan pembimbing, penulis simpulkan sebagai berikut:
Pembimbing:
Secara dasar keilmuan untuk mengenal diri sudah saya berikan
semua. Sekarang tergantung pada Bapak (panggilan untuk penulis) untuk menekuni
dan mendalaminya. Kalau memungkinkan Bapak boleh mencari pembimbing lain untuk
mencari tambahan dan pendalaman.
Penulis:
Terima kasih atas segalanya, hanya Alloh yang akan membalas
semuanya. Namun penulis menganggap bahwa hal itu belum tuntas karena penulis
tidak dapat melihat dan berdialog dengan pendamping.
Pembimbing:
Memang demikian karena untuk dapat melihat dan berdialog
dengan dia diperlukan kebersihan hati, saya melihat dihati Bapak masih terdapat
flek-flek yang hal ini sebagai penyebabnya.
Penulis:
Kalau demikian tolong penulis diberi petunjuk dan arahan
Pembimbing:
Hal itu semuanya melalui proses, cobalah bapak berpikir
positif, janganlah memikirkan hal-hal yang sifatnya keduniawian, perbanyak
puasa sunah (senen-kamis) dan senantiasa berdzikir kepada Alloh.
Waktupun terus bergulir, seiring
dengan itu penulis pun selalu mencari orang yang bersedia memberi bimbingan dan
petunjuk. Alloh Maha Arif lagi Maha Bijaksana dengan Ridho Nya, penulis
dipertemukan dengan seseorang yang di Karuniai pengetahuan tentang spiritual
(berdasar Al Qur’an) Pada setiap kesempatan penulis senantiasa melakukan dialog
dan mendapat petunjuk untuk mengungkap suatu kebenaran yang hakiki.
Kesimpulan yang dapat diambil dari
dialog tersebut:
1) Apapun istilahnya, yang namanya
pendamping (goib) atau saudara bathin, atau saudara kembar (kembaran)
sebenarnya mereka sama saja, yang dalam bahasa spiritual disebut Qodam, Qodam
termasuk bangsa JIN (ADZ DZARIYAAT 56), mereka ada yang soleh, tetapi banyak
juga yang kafir (AL JIIN ayat 11),- mereka juga mamiliki ilmu, dan dengan
ilmunya itu mereka mampu merobah wujudnya menjadi wujud apapun yang mereka
kehendaki, termasuk wujud seperti kita. Ada sebagian orang (yang mempunyai ilmu
mengenal diri) berasumsi bahwa saudara kembar merupakan perwujudan JATI DIRI
Penulis tidak sepakat dan meragukan
atas asumsi tersebut karena tidak ada satu ayatpun dalam Al Qur’an mengenai hal
tersebut.
Dalam kenyataan sekarang ini, penulis
banyak menemui orang-orang yang berilmu (KIYAI) yang memiliki pendamping
goib/qodam. Yang dengan itu mereka dapat disuruh dan dimintai pertolongan untuk
memberikan informasi-informasi dan bahkan dapat memberikan solusi atas suatu
persoalan hidup yang dialami seseorang. Padahal mereka berilmu (KIYAI) yang
taat dan menjalankan sunah atau ajaran-ajaran Rosululloh SAW, tetapi mengapa
mereka melakukan hal-hal semacam itu.
Pada masa Rosululloh SAW, beliau
tidak pernah menyuruh kepada para sahabat untuk melakukan acara ritual (puasa
dan mewirid ayat-ayat Al Qur’an tertentu) atau dengan perkataan lain Rosululloh
tidak pernah mencontohkan hal seperti itu. Lalu bagaimana dengan mereka yang
berilmu yang katanya ilmunya itu didasarkan pada Al Qur’an dan sunah Rosul.
(ingat Rosul tidak pernah memberi contoh diluar syari’at).
Penulis berpendapat bahwa mereka yang
berilmu, melakukan hal yang demikian hanya untuk perisai diri, agar punya
karisma, agar dihormati dan disanjung orang banyak. Dikhawatirkan, karena
banyaknya sanjungan dan penghormatan yang diberikan kepadanya, dia menjadi lupa
diri, dia menjadi sombong dan takabur (AL ISRAA 37).
2). Kembali pada surat ADZ Dzaariyat
21, sejujurnya penulis belum menemukan bagaimana sejarah turunnya ayat 21
tersebut.
Namun dengan suatu keyakinan penulis
percaya bahwa ayat 21 tersebut didalamnya mengandung satu rahasia atau satu
hasanah yang tersembunyi dalam diri
setiap manusia. Oleh karena itu Alloh memerintahkan kepada kita agar
memperhatikan diri masing-masing.
Sebagai ilustrasi, penulis akan
menuangkan secara singkat sejarah seorang hamba (pada Zaman Jahiliyah) dalam
mencari dan menemukan kebenaran hakiki.
Dia sering merasakan adanya gejolak
aneh yang muncul dari lubuk hatinya (mimpi hakiki)
Dia pun berusaha untuk mencari tahu
tentang gejolak aneh/misterius yang sering muncul itu.
Di suatu tempat yang jauh dari hiruk
pikuk keramaian kota, diatas sebuah gunung batu yang tandus dan gersang, dalam
sebuah gua (gua HIRA), pada tiap-tiap bulan Romadhan setiap tahun, dia
senantiasa melakukan perenungan-perenungan, menerobos masuk kedalam relung hati
yang terdalam dalam mencari dan menemukan kebenaran yang hakiki (istilah penulis
– JATI DIRI)
Dalam perenungan itu terkadang dia
lupa makan, lupa minum, lupa pada orang dan alam sekitarnya dan bahkan lupa
pada dirinya sendiri. Dalam kondisi sedemikian itulah dia merasakan adanya
Hakekat Kebenaran.
Pada suatu hari dalam bulan suci Romadhan, disaat dia
ketiduran, Alloh mengutus malaikat Jibril untuk menyampaikan firman NYA.
Dengan membawa sehelai lembaran, jibril menyambangi dia,
jibril pun membangunkan dia, seraya berkata: “Bacalah”, dengan terkejut diapun
menjawab “saya tidak dapat membaca” Dia merasakan seolah-olah malaikat itu
mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya berkata “Bacalah” masih dalam
ketakutan akan dicekik lagi diapun menjawab “Apa yang akan saya baca”
seterusnya malaikat itu berkata “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan,
dstnya…….
(Wahyu pertama – surat AL “ALAQ)
Demikianlah perjalanan si hamba yang buta huruf, namun dia
menjadi satu-satunya hamba yang terpilih untuk mengemban amanah (AL AHZAB 72),
untuk menyampaikan ajaran Islam sebagai agama Tauhid (AL ANBIYAA 92) kepada
mannusia.
Kiranya kita semua dapat menarik dan mengambil satu pelajaran
yang berharga dari perjalanan Beliau, dalam mencari untuk menemukan hakekat
kebenaran dan hakekat JATI DIRI nya.
Dari ilustrasi tersebut diatas, penulis menyarankan pada
teman-teman atau siapa saja, mereka yang berminat untuk mempelajari dan
mendalami spiritual islam (ajaran tauhid), saran penulis sebagai berikut:
1). Carilah dan temukanlah seorang ulama (ulama u warosatul
anbiya). Dalam hal ini penulis mohon maaf dan sekaligus mengingatkan agar dalam
mencari ulama harus waspada dan hati-hati karena sekarang ini ada sebagian
ulama berkecenderungan kepada masalah-masalah keduniawian.
Oleh karena itu carilah ulama yang benar, karena tugas ulama
adalah menyampaikan dan menerangkan ajaran agama sesuai Al Qur’an dan Sunah
Rosululloh SAW dengan benar.
Mohonlah pada beliau arahan, petunjuk dan bimbingan mengenai
ajaran Tauhid (hakekat Kebenaran)
(surat AL ANBIYAA 92) atau …….
2). Carilah dan temukanlah seorang kiayi (syech) dan kalau
memungkinkan bergabunglah dalam majlis (Torekat) yang dipimpinnya.
Dalam majlis itulah kiayi/syaichu akan membimbing, menuntun
si murid untuk membersihkan diri, terutama untuk membersihkan hati dari noda
dan kotoran yang menempel dan menutupi hati.
Dzikrulloh adalah alat pembersih hati, dengan banyak
berdzikir kepada Alloh, hati akan menjadi tenang, hati akan menjadi bersih dari
noda dan kotoran, hati akan menjadi putih berkilauan terang benderang.
Dengan kebersihan hati itulah kiayi/syaichu akan membuka
jalan untuk menemukan hakekat JATI DIRI si murid.
(Sepanjang Kiayi/Syech yang bersangkutan berpengetahuan dalam
hal itu atau ybs. telah menemukan JATI DIRI nya).
2) Carilah dan temukanlah seorang
Pembimbing yang mempunyai pengetahuan tentang Hakekat Jati Diri.
Sejujurnya untuk menemukan seseorang
yang memiliki pengetahuan dimaksud tidaklah mudah (sangat sulit sekali)
Tidak seperti halnya ulama atau
kiayi/syech, sesuai dengan tugas mereka untuk menyampaikan dan menerangkan
ajaran Islam (Al Qur’an dan sunah Rosul) kepada umat/manusia. Jadi sudah
selayaknya mereka itu banyak dikenal orang (terkenal).
Berbeda dengan orang yang memiliki pengetahuan
tentang Hakekat Jati diri. Dia senantiasa menutup dirinya, dia tidak ingin
menjadi orang yang dikenal banyak orang, dia berpenampilan sangat sederhana,
tidak ada atribut apa pun pada dirinya sebagaimana atribut yang dipakai oleh
orang-orang yang berilmu.
Pada dasarnya Hakekat Jati Diri bukanlah suatu ilmu yang dapat
ditelusuri, dikaji dalam Al Qur’an maupun Sunah Rosululloh SAW, Al Qur’an tidak
menerangkan secara tegas dan lugas, terkecuali hanya tersirat.
Hakekat Jati Diri, merupakan suatu
Hasanah yang Tersembunyi, Dan karena ketersembunyiannya itulah keberadaannya
tidak dapat dicapai dengan akal (syari’at).
Keberadaannya hanya dapat dicapai
dengan keyakinan dan keimanan.
Pengetahuan tentang Hakekat Jati Diri
boleh dikatakan sebagai anugerah dan karunia Alloh kepada seseorang yang
dikehendaki NYA.
Hakekat Jati Diri hanya dapat diraih
tidak hanya dengan kesucian hati tetapi juga dengan keyakinan yang mendalam,
dengan perenungan-perenungan dikeheningan malam (lihat sejarah si hamba dalam
Gua Hira*)
*) Si hamba, hidup pada masa/zaman
jahiliyah yaitu suatu zaman kegelapan, dimana manusia dalam menjalankan peribadatan
sesuai dengan tradisi leluhurnya. Mereka menyembah berhala-berhala yang mereka
buat sendiri. Akhlak mereka sudah rusak total, status sosial dijadikan ukuran
dalam hidup bermasyarakat.
Kembali kepada si hamba yang mencari
Hakekat Kebenaran. Dalam keheningan malam pada bulan-bulan Romadhan setiap
tahunnya dia senantiasa melakukan perenungan-perenungan menyeruak masuk kedalam
hati sanubari yang terdalam untuk menemukan hakekat kebenaran (hakekat Jati
DIRI).
Yang menjadi pertanyaan adalah: dalam
perenungan-perenungan yang dia lakukanmemakai syariatnya siapa?
Tidak ada kata sepakat dari ulama,
sebagian mengatakan syariatnya Nabi Nuh, ada yang mengatakan Nabi Ibrahim, ada yang mengatakan Nabi Musa, dan ada yang
mengatakan Nabi Isa.
Yang pasti adalah, dia menganut suatu
syariat yang sesuai hati nuraninya dan diamalkannya.
4). Jati diri itu sesungguhnya berada
dalam diri setiap orang oleh karena itu bilamana kita ingin mencari dan
menemukan hakekat jati diri, jangan sekali-kali mencarinya diluar diri (ADZ DZAARIYAAT
21).
Hakekat Jati Diri adalah suatu
hasanah yang berada dalam lubuk hati yang paling dalam pada setiap orang.
Karena itu maka setiap orang harus menanamkan suatu keyakinan dalam dirinya
sendiri, karena HAKEKAT JATI DIRI (HJD) ada dalam dirinya sendiri .
Seorang pembimbing (yang dikaruniai pengetahuan
HJD) hanya sekedar membuka jalan, memberikan do’a/amalan-amalan dan memantau
perjalanan si murid.
Berhasil atau tidaknya si murid
menemukan HJD nya tergantung pada si murid itu sendiri.
C. Dalam Al Qur’an terdapat ayat-ayat
yang diantara isinya ada ayat-ayat yang muhkamaat dan yang lainnya, ayat-ayat
Mutasyabihaat (Ali Imron 7)
a). Ayat-Ayat Muhkamaat menerangkan
tentang pokok-pokok isi Al Qur’an (ajaran Islam), kandungan isinya dapat
difahami dengan mudah, terang dan tegas maksudnya.
b). Ayat-Ayat Mutasyabihaat.
Ayat-ayat ini mengandung bererapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti
mana yang dimaksud, kecuali setelah diselidiki secara mendalam. Ayat-ayat ini
berhubungan dengan hal-hal yang goib-goib seperti hari kiamat, sorga, neraka
dan lain-lainnya. Hemat penulis dalam ayat-ayat tersebut secara tersirat,
memuat Hasanah Yang Tersembunyi (HJD- istilah penulis) yang ada dalam diri
setiap orang. Oleh karena itulah ALLOH memerintahkan agar kita semua memperhatikannya
(Adz Dzuriyaat ayat 21)
Ada beberapa ayat yang secara
tersirat menyebukkan tentang Hasanah Yang Tersembunyi dimaksud, antara lain:
SURAT AL A’RAAF 172 (terjemahannya)
Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Dari terjemahan ayat
diatas, penulis mengimani dan meyakininya, penulis tidak berani mentakwilkan
ayat tersebut. Namun penulis hanya sekedar meninjaunya sesuai alur fikir dan
keterangan yang penulis peroleh dari Pembimbing, sebagai berikut:
1)
Pada waktu itu ada suatu pertemuan Akbar antara Tuhan
dengan para jiwa (secara fisik-bani Adam belum ada sama sekali). Dalam
pertemuan akbar tsb. Terjadi statemen antara antara para jiwa (masih berupa
hasanah-hasanah atau HJD-HJD) dengan Tuhannya, dimana Tuhan mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka, Tuhanpun berfirman “Bukankah aku ini Tuhanmu”, para jiwa
menjawab “Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi”.
2)
Jiwa mereka dapat berarti merupakan kumpulan dari
jiwa-jiwa/hasanah-hasanah/HJD-HJD, yang jumlah mereka tak terhingga banyaknya.
Dengan pertemuan akbar tersebut berarti mereka melihat/menyaksikan Tuhannya,
dekat dengan Tuhannya dan bahkan dapat berdialog dengan Tuhannya.
3)
Jiwa mereka atau hasanah/HJD, bukanlah Ruh, berbeda
dengan Ruh. Ruh adalah ciptaan Alloh, yang diciptakan NYA dan kemudian
ditiupkan kedalam jasad Adam setelah disempurnakan kejadiannya. (AL HIJR 29).
Kemudian setelah itu
Alloh berfirman kepada para malaikat, bersujudlah kamu semuanya pada Adam
(sebagai penghormatan)
Kemudian merekapun
bersujud, kecuali iblis. Dia tidak mau sujud karena kesombongannya, Iblis hanya
dapat melihat wujudnya Adam yang diciptakan Alloh dari tanah liat kering. Iblis
tidak mengetahui dalam diri Adam adanya suatu Martabat Kemulyaan yang
tersembunyi.
Dalam firman Alloh
yang lain, hanya tersirat Alloh menerangkan mengenai Hasanah yang Tersembunyi
itu atau penulis mengistilahkan HAKEKAT JATI DIRI (HJD). HJD keberadaannya
(diciptakan) lebih dahulu sebelum Alloh menciptakan Adam.
HJD atau jiwa masih
merupakan HASANAH-HASANAH yang pada saat diadakan pertemuan Akbar mereka telah
menyaksikan mengenal, dekat, dan bahkan berdialog dgn Tuhan (AL A’RAAF 172).
Firman Alloh yang
lain dimaksud:
SURAT AL AN ‘AAM 31
(awal ayat)
“Sungguh telah
rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Tuhan,” …..
dstnya. Dan ditegaskan dalam:
SURAT MARYAM 9
Tuhan berfirman:
“Demikianlah” Tuhan berfirman: “Hal itu mudah bagi Ku; dan sesungguhnya telah Aku
ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali.”
Demikianlah firman
Alloh yang menerangkan tentang Hasanah yang tersembunyi, Walaupun secara
tersirat, Namun bagi orang yang berfikir akan dapat menangkap sinyal-sinyal
dari firman Alloh dimaksud.
D. Firman Alloh dalam surat AR RUUM 30
(terjemahan)
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada Agama (Alloh); (tetaplah atas) fitroh Alloh yang telah menciptakan
manusia menurut fitroh itu. Tidak ada perubahan pada fitroh Alloh. (itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.*)
*) Fitroh Allah maksudnya : Ciptaan
Alloh, Manusia diciptakan Alloh mempunyai naluri beragama yaitu agama Tauhid.
Kalau manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidak wajar, mungkin karena
pengaruh lingkungan.
Ada beberapa hal yang kiranya penulis
ungkapkan sbb:
1). Sejenak kita surut kebelakang
belasan abad yang lalu, dimana masyarakat di jazira Arab yang hidup dalam zaman
jahiliyah. Mereka dalam menyalurkan Naluri beragama, mereka melakukan
pemujaan-pemujaan pada berhala-berhala dan sembahan-sembahan lainnya sesuai
dengan apa yang telah nenek moyang/leluhur mereka lakukan secara turun-temurun.
Alloh kemudian mengutus Nabi Muhammad
SAW untuk menyampaikan kepada umatnya tentang agama Islam sebagai agama tauhid,
suatu agama yang dapat mengangkat manusia dari kegelapan kepada kebenaran.
Tak terkecuali dengan masyarakat
Indonesia pada waktu itu, mereka sama saja, yang dalam menyalurkan Naluri
beragamanya, mereka mengadakan pemujaan-pemujaan terhadap pohon-pohon besar,
batu-batu besar, benda-benda pusaka, dan
lain-lain. Kalau pada masyarakat Arab, Alloh mengutus Rosul Nya untuk
menyampaikan ajaran Islam sebagai agama tauhid, maka para Ulama mempunyai andil
yang sangat besar dalam menyampaikan ajaran Islam kepada sebagian besar
masyarakat Indonesia.
Khususnya masyarakat tanah jawa,
mereka sangat terkenal dan dikenal secara luas oleh masyarakat di tanah jawa
dengan sebutan WALI SONGO.
Beliau-beliau inilah yang
menyampaikan ajaran Islam sebagai agama tauhid, beliau-beliau inilah yang
membimbing dan memberi petunjuk kepada masyarakat untuk kembali kepada
fitrohnya.
2). Dalam catatan kaki, terjemahan Al
Qur’an menerangkan tentang adanya Naluri beragama yaitu agama tauhid. Yang
menjadi pertanyaan adalah: darimana munculnya Naluri beragama itu dalam diri
manusia?
Mendasari pada Al Qur’an surat Al
A’RAAF 172, menerangkan tentang JIWA, dalam surat QAAF 16 dan surat WAQI’AH 85
menerangkan dekat kepada nya.
Para pakar Metafisik atau mereka yang
mendalami spiritual, ada yang menamakan Hasanah
yang tersembunyi, ada juga yang menamakan Hakeket Jati Diri, ada juga yang menamakan Sejatining Urip (falsafah jawa kuno).
Menurut hemat penulis, kesemuanya itu
hanya merupakan peristilahan belaka dalam pemberian namanya.
Namun yang jelas adalah peristilahan
itu ditujukan kepada hal yang satu itu, yaitu sebagai pengejawantahan dari
fitroh itu.
Dengan demikian maka adanya Naluri
beragama, berasal atau bersumber dari dalam lubuk hati terdalam pada diri
manusia, sebagaimana pada waktu diadakan pertemuan Akbar jiwa mereka menjadi
SAKSI atas ke Esaan Tuhan tiada lain selaih DIA (agama tauhid)
3). Bagaimana dengan kehidupan kita
sekarang ini, yang telah melalui kurun waktu yang sangat panjang. Yang telah
ditinggalkan junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Ribuan tahun silam.
Seiring pula dengan perjalanan waktu, yang ditandai dengan kemajuan teknologi
informasi yang sangat luar biasa, sedikit banyak akan merobah pola fikir dan
tata kehidupan bermasyarakat. Saat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai
moral. Orang-orang sudah tidak lagi membicarakan masalah Aqidah, masalah
kebenaran yang hakiki, bahkan ada segelintir orang yang melupakan jati dirinya
sendiri. Bahkan ada yang sangat memprihatinkan lagi dimana segelintir orang
muslim, agama hanya dijadikan sarana untuk mencapai kepopuleritasan pribadinya
dan tidak menutup kemungkinan pula agama dijadikan kendaraan politiknya dalam
meraih tujuannya.
Dan bahkan ada yang lebih tragis lagi
diantara saudara-saudara kita umat Islam yang tingkat keimanannya tipis dan
status sosial ekonominya sangat memprihatinkan, tanpa malu-malu mereka
mendatangi paranormal/dukun, agar dapat merubah nasibnya, sebagian lagi ada
yang mencari pusaka atau benda-benda bertuah/ampuh dan ada pula diantara mereka
mendatangi tempat-tempat/kuburan-kuburan yang dianggap keramat untuk dimintai
sesuatu.
Demikian kondisi dari sebagian umat
Islam saat sekarang ini. Ajaran Islam sebagai agama tauhid hanya merupakan
ucapan, slogan-slogan belaka, mereka tidak menghayati hahekat ke-tauhidan
didalamnya. Mereka tidak memahami bahwa agama tauhid adalah suatu agama yang
sesuai dengan fitroh manusia.
Kalaulah sudah demikian kondisinya.
Berarti harkat dan martabat manusia sebagai kholifah dimuka bumi sudah
terinjak-injak, manusia sudah kehilangan Hakekat Jati Dirinya. Naluri beragama
kepada agama tauhid, sebagaimana Alloh menciptakan manusia menurut fitroh itu,
telah tercemar dengan keduniawian, kemaksiatan dan kesombongan dari manusia itu
sendiri.
Yang menjadi permasalahan adalah:
dapatkah kita meraih kembali Hakekat Jati Diri yang hilang itu?
Dapatkah kita mewujudkan kembali
fitroh ALLOH yang telah menciptakan manusia menurut fitroh itu?
Kalau Alloh menghendaki, mengapa
tidak!
Sesungguhnya ALLOH Maha Bijaksana
Lagi Maha Mengetahui atas segala sesuatu,-
III.
PENUTUP
Dengan segala kerendahan hati penulis
mohon maaf bagi mereka yang sempat membaca tulisan ini, karena bagi mereka yang
hanya semata-mata berpegang teguh pada syariat akan mengatakan bahwa tulisan
ini hanya mengada-ada dan bahkan tidak menutup kemungkinan mereka akan
mengatakan suatu tinjauan yang menyesatkan. Namun bagi mereka yang mempelajari
spiritual Islam, atau mereka yang telah dianugerahi Alloh, Al Hikmah (Al
Baqoroh 269) mereka tentu akan mengatakan: Ya! Memang begitulah adanya;
Terlepas dari pro dan kontra penulis
menyarankan:
1) Jangan jadikan Al Qur’an hanya
sekedar bacaan, karena didalamnya terdapat hal-hal yang tersirat untuk dikaji.
2) Mari kita memposisikan diri kita
sebagai seorang hamba dengan Tuhannya semata (AL AN’AAM 162).
3) Mari kita semua mengKONDISIkan diri
kita, sebagai mana firman Alloh dalam surat AL FAJR, 27, 28, 29,dan 30 dan atau
surat AL WAQI’AH ayat 85, 88 dan 89.
4) Senantiasa mohon kehadirat Alloh akan
Ridho dan Hidayah NYA agar kita dapat mencari dan menemukan Hakekat Jati Diri
kita, sesuai dengan tuntunan/syariatnya Junjungan kita Nabi Muhammad SAW.-
“Sesungguhnya Kebenaran Yang Hakiki ada pd sisi Alloh”
Komentar
Posting Komentar